Beranda | Artikel
Aqîqah Bagi Buah Hati
Kamis, 18 Agustus 2016

AQIQAH BAGI BUAH HATI

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Islam ajaran yang paripurna telah memberikan perhatian besar dalam perkembangan dan pertumbuhan anak agar menjadi generasi yang kuat dan shalih sejak hari-hari pertama kelahirannya di dunia.

Diantara bentuk perhatian itu adalah disyariatkannya aqîqah yang dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya.

APA ITU AQIQAH?
Aqiqah secara etimologis (lughawi)  adalah membelah dan memotong. Dari pengertian ini:

  1. Rambut bayi yang baru lahir dinamakan aqîqah karena rambut itu akan dicukur gundul dan dipotong
  2. Sembelihan dinamakan aqîqah karena binatang disembelih ketika mencukur rambut. [Lihat lebih lengkap di kitab Lisan al-Arab 10/255-259].

Sedangkan menurut terminologi syariah (fiqih), aqîqah adalah hewan yang disembelih sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh atas lahirnya seorang anak baik laki-laki atau perempuan. Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah mendefinisikan dengan: Sembelihan yang disembelih dari anak yang lahir. [al-Mughni, 13/393].

APA HUKUMNYA DALAM SYARIAT?
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum aqîqah bagi bayi dalam lima pendapat:

Pertama : Aqîqah adalah wajib. Ini pendapat al-Laits bin Sa’ad dan al-hasan al-Bashri serta riwayat dalam madzhab Hanabilah dan pendapat madzhab Zhahiriyah.

Dalil pendapat ini adalah:
1. Hadits Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu yang berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى”

Setiap anak tergadai dengan aqîqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digunduli, dan diberi nama [HR. At-Tirmidzi dalam sunannya no. 2735 dan Abu Dawud no. 2527 dan Ibnu Mâjah no. 3165 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwâ no. 1165 dan Shahih Abu Dawud].

Saat menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, Setiap anak tergadai dengan aqîqahnya“, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa maksudnya adalah tertahan dari syafaat untuk kedua orang tuanya apabila mati masih kecil. Sehingga diserupakan dengan tidak lepasnya batang gadai dari pemegangnya. Ini menunjukkan kewajiban aqîqah.

2. Hadits Salmân bin ‘Amir Radhiyallahu anhu yang berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى

Setiap bayi lelaki bersama aqîqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya [HR. Al-Bukhâri].

Hadits ini menunjukkan bahwa aqîqah menjadi keharusan setiap bayi yang lahir sehingga menunjukkan kewajibannya.

3. Hadits Ummu Kurzin Radhiyallahu anha yang berkata, “Aku telah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah bertanya tentang daging sembelihan hadyu, lalu aku mendengar bersabda:

عَلَى الْغُلَامِ شَاتَانِ، وَعَلَى الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كَانَتْ أَمْ إِنَاثًا

Setiap bayi lelaki disembeliihi dua ekor kambing dan atas bayi perempuan disembelihi seekor kambing, tidak masalah bagi kalian apakah kambingnya jantan atau betina. [HR. An-Nasâ’i no, 4217 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan an-Nasâ’i dan al-Irwâ 4/391].

4. Hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَعُقَّ: عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengaqiqahi bayi lelaki dengan dua kambing dan bayi perempuan dengan seekor kambing [HR. Ibnu Mâjah no. 3163 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwâ no. 1164  dan Shahîh Sunan Ibnu Mâjah].

Dalam hadits ini ada perintah aqiqah dan perintah menunjukkan wajib.

Kedua : Aqiqah adalah sunnah. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama dalam madzhab Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah. [Lihat at-Tamhîd 4/312-313, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab 8/446-447, al-Mughni 13/393].

Dalil pendapat ini sama dengan dalil-dalil pendapat pertama hanya saja mereka berkata:

Semua hadits-hadits tersebut menunjukkan perintah melaksanakan aqîqah. Perintah ini tidak menunjukkan wajib karena ada hadits dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ العَقِيقَةِ؟ فَقَالَ: «لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْعُقُوقَ». كَأَنَّهُ كَرِهَ الِاسْمَ وَقَالَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aqîqah? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Allâh tidak mencintai kata al-uqûq. Seakan-akan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai nama tersebut dan bersabda: Barangsiapa dianugerahi bayi lalu ingin menyembelih sembelihan untuknya maka sembelihlah sembelihan dari seorang bayi lelaki dua kambing yang baik dan dari bayi perempuan seekor saja. [HR Abu Dawud no. 2842 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud] Demikian juga hal ini dilaksanakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sendiri seperti yang ada pada hadits-hadits berikut:

1. Hadits Buraidah dari bapaknya Radhiyallahu anhu yang berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husein [HR. An-Nasâ’i no. 4213 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan an-Nasâ’i dan al-Irwâ no. 1164].

2. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husein dengan masing-masing seekor kambing kibas. [HR Abu Dawud no. 2841 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah  no. 4155 dan Shahîh Sunan Abi Dawud].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berbuat yang terbaik dan sempurna sehingga menunjukkan hukumnya sunnah.

Juga adanya analogi aqîqah terhadap kurban dan sembelihan walimah dengan kesamaan semuanya berupa penumpahan darah tanpa adanya kejahatan dan tidak ada nadzar, yang diperintahkan syariat dengan hukum sunnah. [Lihat al-Majmû 8/426].

Ketiga : Aqîqah hanyalah mubah tidak wajib dan tidak juga sunnah. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanafiyah

Dalil pendapat ini adalah:
1. Aqîqah telah dihapus hukumnya (mansûkh) dengan kurban dengan dalil hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَسَخَ الْأَضْحَى كُلَّ ذَبْحٍ , وَصَوْمُ رَمَضَانَ كُلَّ صَوْمٍ , وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ كُلَّ غُسْلٍ , وَالزَّكَاةُ كُلَّ صَدَقَةٍ

Kurban menghapus semua sembelihan dan puasa Ramadhan menghapus semua puasa dan mandi dari janabah menghapus semua mandi dan zakat menghapus semua sedekah. [HR. Ad-Daraqutni dan dihukumi sebagai hadits lemah sekali oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha‘îfah, no. 904]

Apabila ada naskh maka kembali kepada hukum asal mubahnya.

2. Hadits Abu Râfi’Maula Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata:

أَنَّ الحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ حِينَ وُلِدَ، أَرَادَتْ أُمُّهُ فَاطِمَةُ أَنْ تَعُقَّ بِكَبْشَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n  ” لَا تَعُقِّي عَنْهُ، وَلَكِنِ احْلِقِي شَعْرَ رَأْسِهِ، ثُمَّ تَصَدَّقِي بِوَزْنِهِ مِنَ الْوَرِقِ فِي سَبِيلِ اللهِ “، ثُمَّ وُلِدَ حُسَيْنٌ بَعْدَ ذَلِكَ، فَصَنَعَتْ مِثْلَ ذَلِكَ

Sesunggunya al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma ketika lahir, ibunya Fathimah Radhiyallahu anhuma ingin mengaqiqahinya dengan dua kambing, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu melakukan aqîqah tapi cukurlah rambut kepalanya kemudian bersedekah dengan perak seberat rambut tersebut dijalan Allâh. Kemudian lahirlah Husein setelah itu dan Fâthimah berbuat seperti itu.[HR Ahmad dan dihasankan al-Albani dalam al-Irwâ 4/403 ketika menjelaskan hadits no. 1175].

Dalam hadits ini bentuk larangan dan larangan tidak pas buat hukum wajib dan sunnah. Sehingga hukumnya kembali kepada mubah.

Keempat: Aqîqah hukumnya makruh. Ini adalah satu pendapat dari madzhab Hanafiyah

Dalil pendapat ini adalah sama dengan dalil pendapat ketiga dengan menambah argument berikut :
1. Aqîqah termasuk amalan ahli kitab berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْيَهُودَ تَعُقُّ عَنِ الْغُلَامِ وَلَا تَعُقُّ عَنِ الْجَارِيَةِ , فَعُقُّوا عَنِ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ , وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً

Sesungguhnya orang Yahudi beraqîqah untuk bayi lelaki dan tidak untuk bayi perempuan, Sembelihlah dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan seekor untuk bayi perempuan.[HR. Al-Baihaqi dalam sunan al-Kubrâ 9/262 dan al-Albani menghukuminya sebagai hadits lemah dalam Dha’îf al-Jâmi’ no. 1814].

2. Aqîqah adalah sebuah keutamaan dan ketika di nasakh maka tidak tersisa kecuali makruh berbeda dengan puasa dan sedekah, karena keduanya dahulu termasuk kewajiban dan bila di nasakh maka diperbolehkan bersunnah dengannya. (lihat Badâ’i’ ash-Shanâi’ 5/69).

Kelima: Aqîqah disyariatkan untuk bayi laki-laki dan tidak untuk bayi wanita. Inilah pendapat al-Hasan dan Qatâdah.
Dalil mereka adalah:

1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadai dengan aqîqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul rambutnya, dan diberi nama. [HR. At-Tirmidzi dalam sunannya no. 2735 dan Abu Dawud no. 2527 dan Ibnu Mâjah no. 3165 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwâ no. 1165 dan Shahîh Abi Dâwud]

2. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى»

Setiap bayi lelaki bersama aqîqahnya, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah gangguan darinya [HR. Al-Bukhâri].

Kedua hadits ini menunjukkan bahwa aqîqah merupakan kekhususan bayi laki-laki, sehingga tidak disyariatkan pada bayi perempuan. Demikian juga aqîqah adalah bentuk syukur nikmat yang muncul dari lahirnya anak dan ungkapan bahagia dan itu tidak ada pada bayi perempuan.

PENDAPAT YANG RAJIH
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua yang menyatakan hukumya sunnah dan disyariatkan pada bayi laki-laki dan perempuan, karena keabsahan dan kekuatan dalil dan istidlâl mereka, sebagaimana aqîqah sudah dijelaskan melalui perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perbuatan para Shahabat dan yang setelah mereka hingga hari ini. Ini juga dirajihkan oleh syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah dan syaikh bin Bâz rahimahullah yang menyatakan bahwa aqîqah adalah sunnah muakkad dan tidak wajib untuk bayi lelaki dua kambing dan wanita satu. [Majmu Fatwa syaikh bin Bâz 18/48].

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5579-aqqah-bagi-buah-hati.html